Mengenal Lebih Dalam Suku Kamoro
Sepintas Tentang Papua
Papua
adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Nugini bagian barat
atau west New Guinea. Papua juga sering disebut sebagai Papua Barat karena
Papua bisa merujuk kepada seluruh pulau Nugini termasuk belahan timur negara
tetangga, east New Guinea atau Papua Nugini. Papua Barat adalah sebutan yang
lebih disukai para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan
membentuk negara sendiri. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian
Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya
oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang
tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti
menjadi Papua sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua. Pada masa era kolonial
Belanda, daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea).
Asal
kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Kata Papua sendiri
berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang
mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli. Pada tahun 2004, disertai oleh
berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia
bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Irian
Jaya Barat yang sekarang menjadi Provinsi Papua Barat.
Suku Kamoro - Kabupaten Mimika
Sensus
penduduk yang dilakukan BPS pada tahun 2010 menyebutkan bahwa ada sekitar 466
suku bangsa yang berada di Papua. Dari jumlah tersebut, artinya hampir 35
persen suku bangsa yang ada di Indonesia berada di Papua.
Di antara
ratusan suku bangsa tersebut, salah satu suku yang berada di Papua adalah Suku
Kamoro. Suku ini mungkin tak terlalu asing ketika kita menyebut tentang Papua.
Keberadaan suku yang masih menerapkan pola hidup semi-nomaden ini mulai sering
menjadi bahan kajian, diskusi, maupun project sebuah kebijakan.
Suku Kamoro
adalah salah satu suku yang berada di Papua. Tinggal di wilayah pesisir selatan
Papua, di Kabupaten Mimika, dengan luas areal sekitar 250 km membentang mulai
Sungai Otakwa di sisi timur hingga mendekati Potowai Buru di sisi barat.
Sebagai masyarakat semi-nomaden, orang Kamoro tinggal di tiga ekosistem, hutan
hujan tropis, rawa-rawa bakau dan daerah muara yang kaya akan sumber makanan.
Suku Kamoro
kaya akan ragam budaya, antara lain kegiatan menganyam oleh kaum wanita,
mengukir oleh kaum pria, nyanyian, tarian, cerita legenda dan ritual ‘karapao’
yang masih diselenggarakan hingga saat ini
Asal-Usul dan Sejarah Suku Kamoro
Setiap suku pasti memiliki asal-usulnya masing-masing. Biasanya,
cerita tentang asal usul mereka diturunkan secara turun-temurun. Cerita dari
generasi ke generasi berikutnya, akhirnya menjadi sebuah legenda atau mitos.
Jika setiap suku yang kita jumpai memiliki cerita tentang asal-usulnya,
demikian halnya masyarakat Kamoro juga memiliki cerita mitos asal-usul.
Nama Kamoro secara mitologis, berasal dari mitos Wua Nani (Kamoro).
Dikisahkan bahwa suatu hari, ditemukan sebutir telur yang kemudian menetas
menjadi seekor Komodo. Hewan ini melahap seluruh penduduk kampung, kecuali
seorang ibu bernamaMbirokoteya, yang sedang mengandung. Bayi yang lahir dari
kandungan sang ibu tersebut diberi nama Mbirokoteyau. Setelah anak itu
bertumbuh besar, ia berhasil membunuh komodo tersebut. Penggalan daging komodo
itu kemudian dilemparkan ke empat penjuru. Daging pertama dilemparkan ke arah
timur sambil berteriak, “Umurumel”. Bagian inilah yang kemudian menjadi orang
Asmat dan Merauke. Daging kedua dilemparkan ke arah barat sambil berteriak
“Komorowe” , artinya “Jadilah bagian ini sebagai orang Kamoro”
Faktor Demografi
Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami
wilayah sepanjang 300 Km, pesisir pantai selatan Papua, di kawasan ujung timur
Indonesia. Jumlah penduduk suku Kamoro sekitar 18.000 jiwa, terbagi dalam ±40
kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro tinggal di berbagai lokasi transmigrasi
sekitar kota Timika. Tanah Kamoro dimulai dari Teluk Etna di sebelah barat, dan
menyatu ke arah timur di kawasan Jita, sebuah kelompok etnis yang masih
bersaudara, yang juga berpartisipasi dalam acara tahunan festival Kamoro sering
disebut “Kamoro Kakuru”. Tanah Jita berbatasan dengan daerah Asmat. Ketiga
kelompok etnis tersebut membentuk keluarga bahasa Kamoro-Asmat, dan beberapa
ciri kebudayaan seperti patung Mbitoro suku Kamoro dan Bisj suku Asmat,
keduanya merupakan ukiran-ukiran besar yang melambangkan para leluhur yang baru
saja meninggal dunia
Orang Kamoro memiliki ciri-ciri fisik seperti, wanita dan pria
rata-rata memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap karena keadaan alam (di
pesisir pantai), warna kulit hitam, hidung mancung dan rambut keriting.
Ø Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat Melanesia terdiri
dari dua macam, yaitu Austronesia dan Non-Austronesia. Bahasa Non-Austronesia
merupakan bahasa yang umumnya dipakai di daerah Papua.
Dari segi bahasa, suku Kamoro bersaudara dengan suku Asmat, yang
tinggal di sebelah timur dan terkenal karena kesenian mereka. Suku Asmat dan
suku Kamoro, sebelumnya dikenal sebagai orang Mimika-merupakan perbatasan barat
laut pantai selatan New Guinea, mereka menggunakan bahasa daerah
non-Austronesia sebagai bahasa budaya. Penduduk asli suku Kamoro sendiri,
memiliki satu bahasa bersama dan terbagi dalam banyak ciri kebudayaan
Ø Mata
Pencaharian
Orang Kamoro tidak mengenal sistem pertanian sehingga mereka
kembali kepada kehidupan mereka sebagai nelayan dan hidup berpindah-pindah dari
satu tempat ketempat yang lain (nomaden). Mereka memiliki semboyan, yaitu
3S(sungai,sampan,sagu). Sungai merupakan salah satu arus utama aktivitas suku
Kamoro, sehingga mereka membutuhkan sampan untuk melakukan aktifitas
sehari-hari.
Rasa
sosial yang begitu kuat, membuat masyarakat Kamoro selalu berbagi dengan
sesamanya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kamoro sehari-hari, mereka biasanya melakukan aktivitas seperti :
- Memangkur sagu (amata wapuru)
- Melaut (menangkap hasil laut)
- Meramu
Ø
Makanan
Khas
Berbagai makanan khas masyarakat Suku Kamoro antara lain adalah Tambelo
(ko), Sagu (amata), Ulat sagu (koo) , Siput (omoko), Karak
Ø Pakaian
Pakaian adat atau tradisional suku kamoro
dibuat dari kulit peura (sejenis pohon genemo) yang disebut waura. Waura
digunakan untuk laki-laki yang dipakai sebagai cawat disebut tapena. Ada juga
yang terbuat dari daun sagu yaitu tauri, mono dan piki. Tauri biasa digunakan
oleh ibu-ibu. Mono yaitu daun sagu yang dikupas, ditumbuk, dicuci yang kemudian
dipakai. Sedangkan piki biasa digunakan oleh bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak
sebagai kain sarung.
Ø
Agama
Pada awalnya, orang
Kamoro menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun setelah masuknya
agama Katolik pada tahun 1928 yang dibawa oleh seorang pastor, masyarakat
Kamoro mulai mengenal agama. Oleh sebab itu, sebagian besar masyarakat Kamoro
memeluk agama Kristen Katolik dan sebagian kecilnya menganut agama Kristen
Protestan, tetapi ada juga masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme
dan dinamisme dan hal itu masih berlanjut hingga saat ini.
Ø
Adat Istiadat Suku Kamoro
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Demikian halnya, dengan masyarakat suku Kamoro. Perkawinan
mempunyai arti yang sangat mendalam, tidak hanya bagi individu yang kawin,
tetapi juga lebih dari itu menyangkut harga diri, kehormatan, martabat keluarga
atau kerabat. Karena itu, perkawinan tidak lepas dari peranan keluarga atau
kerabat.
Ø Perkawinan
Adat perkawinan
suku Kamoro berbeda dengan adat perkawinan suku amungme. Menurut adat perkawinan suku Kamoro pihak
orang tuagadislah yang menentukan dan meminang calon permai pria. Penentuan
calonmempelai pria tanpa memperhitungkan apakah sebelumnya kedua calon mempelai
ada hubungan cinta kasih atau tidak. Adapun syarat-syarat untuk menentukan
pilihan calon mempelai pria adalah sebagai berikut :
1. Rajin bekerja;
2. Berbudi baik dan
bertanggung jawab; dan
3. Diperkirakan sanggup
memelihara anaknya.
Apabila ketiga syarat tersebut telah terpenuhi maka orang tua calon
mempelai wanita meminang calon mempelai pria dengan membawa
sagu dan ikan. Kemudian
terjadilah musyawarah antar kedua
orang tua untuk merencanakan hari pernikahan dan pesta perkawinan yang disebut
baiya mukata.
Dalam baiya mukata pihak wanita membawa 1) tikar yang disebut
utamuruk, 2) alat-alat pemangkur sagu yaitu wapuri, wee (penapis sagu) dan
yamari (pembolak balik sagu). Saat kedua
mempelai dipertemukan yamari dipegang oleh kedua ibu mempelai dan ditarik
sehingga terbagi dua. Pada saat yamari terbagi dua itulsh pernikahan sah
hukumnya. Namun sebagai responden menyatakan bahwa saat kedua mempelai
dipertemukan, maka ukuma menarik tubuh kedua mempelai sehingga tubuh kedua
mempelai saling berhimpit sampai kedua pusarnya bersentuhan. Pada saat kedua
pusar mempelai bersentuhan itulah perkawinan sah hukumnya.
Persoalan perceraian menurut adat suku Kamoro diperiksa dan diputus
oleh ukuma. Perceraian terjadi jika suami tidak rajin bekerja atau istri
bermain serong. Anak hasil perkawinan mereka biasanya mengikuti ayahnya.
Kebudayaan dan Kepribadian
Suku Kamoro merupakan salah satu suku di Kabupaten Mimika Papua
atau sekarang dikenal dengan nama Irian Jaya. Suku Kamoro adalah suku yang
cukup terkenal, dan memiliki daya tarik akan kebudayaannya yang unik salah
satunya dalam seni ukir patung.
Warisan budaya yang telah dilestarikan sejak zaman nenek moyang
dari suku Kamoro yang masih terjaga, karena mereka sangat berpegang teguh akan
harta yang sarat nilai ini yaitu kebudayaan suku Kamoro.
Di daerahnya suku Kamoro adalah kelompok adat yang mediami
sepanjang persisir selatan Papua di kawasan ujung timur Indonesia. Dari segi
bahasa, suku Kamoro masih bersaudara dengan suku Asmat.
Karena keahlian yang dimiliki dan hasil karya ukirannya yang
memesona itu, suku Kamoro menjadi banyak
dikenal di dunia. Karya ukir suku ini
telah tersebar di beberapa negara, seperti Meksiko, Belanda, Brazil, dan
negara-negara lainnya. Dalam tradisinya, semakin bagus ukiran, maka semakin
tinggi pula derajat pembuatnya.
Tingkat kemampuan intelektual suku kamoro dapat disebut masih kurang.
Suku kamoro merayakan upacara adat sehingga dengan begitu suku maroko tidak
menyerang sesame dan dekat antar sesama.
Suku kamoro mempunyai seni ukir yang cukup tinggi nilainya.
Motif-motif seni ukir didasarkan pada pengalaman sejarah. Mbitoro merupakan
ukir-ukiran khas suku Kamoro yang menjadi dasar dari jenis ukir-ukiran. Ote
kapa adalah seni ukir yang berbentuk tongkat dan biasanya di gunakan oleh orang
yang sudah lanjut usia. Yamate adalah seni ukir yang dibuat dari beberapa
tingkat sesuai dengan tingkat tinggi orang yang memakainya. Biasanya dibuat
empat tingkat yang semuanya bermotif bagian- bagian tubuh buaya.
Dengan budaya mengukir yang ada di suku kamoro kita dapat melihat
bahwa suku ini mempunyai jiwa seni yang tinggi dan mungkin memiliki kesabaran yang
lumayan tinggi.
Suku ini sangat menjaga keasrian dari budaya yang berasal dari adat
suku mereka. Mereka akan menjaga kebudayaan tersebut dan mewariskannya kepada
anak cucu mereka nantinya. Hal ini terlihat dari rumah adat mereka. Rumah adat
merupakan tempat yang dipakai oleh anak-anak remaja dan juga anak-anak kecil
agar bisa bersikap secara dewasa dan menjaga kelestarian yang ada pada beragam
adat kebudayaan yang ada di suku asli Kamoro ini.
Sumber:
http://temorandrio.blogspot.com/2014/11/suku-bangsa-kamoro-papua.html
http://namasayaaprilia.blogspot.com/2015/06/suku-papua-suku-kamoro-suku-asli-timika.html
http://threeswanto.blogspot.com/2015/06/suku-kamoro-papua-bab-i-pendahuluan.html
Yoseph Ikikitaro, 2004, Ritus Inisiasi Karapao Suku Komoro dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi Kristen (Suatu Tinjauan Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur. (Skripsi), hal. 9